Hutan dan Kehidupan

21 Jun 2022

Oleh: 

M. Ihsanuddin Nursi

Alumni PP. Nazhatut Thullab

IG        : @lenterabiru79

Email : m.ihsanuddinnursi@gmail.com

 

             Pada suatu waktu, hiduplah seorang nenek yang menghabiskan masa tuanya sebagai seorang pemulung, orang-orang di sekitarnya memanggilnya nenek Marlinah. Di masa tuanya nenek Marlinah masih bersemangat bekerja untuk menafkahi kedua cucunya yang begitu dia cinta dan sayangi. Nenek Marlinah merasa sangat bahagia dengan kehadiran mereka berdua, meskipun pada kenyataannya tidak ada hubungan darah antara nenek Marlinah dengan mereka. Mereka ditemukan oleh suami nenek Marlinah, pak Karim, di sebuah kardus yang tidak jauh dari tempat pembuangan sampah ketika mereka masih bayi, beberapa tahun sebelum pak Karim meninggal dunia.

Meskipun harus hidup tanpa anak dan sanak saudara, nenek Marlinah tidak pernah mengeluh dan selalu terlihat bahagia, kerena dia memiliki dua orang anak yang sudah dia rawat dengan penuh kasih sayang, seperti cucunya sendiri. Yang diberi nama Banu yang berarti cahaya penerang dan Cahyati yang berarti hatinya bercahaya kini mereka sudah berumur sekitar 7 tahun.

Ketika nenek Marlinah hendak pulang dari tempat pembuangan sampah kota, ia menemukan sebuah buku cerita yang masih layak untuk dihadiahkan kepada kedua cucunya. Tanpa berpikir panjang, nenek Marlinah membawa pulang buku tersebut dengan wajah berseri-seri membayangkan senyuman manis dari Banu dan Cahyati yang selalu menunggunya pulang.

Langit sore mulai memudar, Banu dan Cahyati dengan penuh kesabaran senantiasa menunggu nenek mereka pulang.

Assalamualaikum cucu nenek.”

Waalaikumsalam, Nek.” Banu dan Cahyati langsung berebutan untuk mencium tangan nenek Marlinah.

Masyaallah… makin ganteng dan cantik cucu nenek sekarang, oiya… nenek punya hadiah buat kalian.” Ucap nenek Marlinah.

“Hore!”  teriak Banu dan Cahyati kegirangan.

“Mana Nek, mana… Nek, Banu mau lihat.”

“Iya Nek, Cahyati juga.”

 “Nenek membawakan buku cerita untuk kalian,” ucap nenek Marlinah sembari mengeluarkan sebuah buku dari karung yang ia bawa.

“Yeye… cerita.. yeye..cerita,” sahut mereka kegirangan.

            Nenek Marlinah tak tahan hati melihat kebahagain yang terpancar dari sorot mata kedua cucunya, meskipun mereka tahu bahwa apa yang ia bawa adalah barang bekas, namun kedua cucunya sama sekali tidak memperdulikan itu, dengan rasa kebahagian yang tulus dari mereka.

“Ayo… Nek bacain, Cahyati sudah tidak sabar ingin mendengar ceritanya.”

“Iya  Nek, Banu juga,” harap mereka dengan wajah memelas.

“Iya… iya… habis ini nenek bacain, tapi Banu dan Cahyati Sholat dulu, terus makan ya… habis itu nenek janji akan membacakan cerita ini untuk kalian,” jawab nenek Marlinah.

            Langit berganti gelap, nenek Marlinah menyalakan sebatang lilin sebagai penerang agar bisa membacakan buku cerita untuk  Banu dan Cahyati yang telah menghampirinya dengan penuh semangat.

“Sebelum kalian tidur, nenek akan membacakan cerita ini untuk kalian”

“Horee!” sahut mereka.

            Ketika nenek Marlinah membuka halaman pertama, tiba-tiba.

“Loh, Nek kok Banu seperti mencium bau yang tidak sedap ya?” tanya Banu sembari  mencari asal bau itu.

“Hehehe… maaf Kak, tadi Cahyati tidak sengaja kentut,” ucap Cahyati cengengesan.

“Hmm… dasar Cahyati!” sahut Banu dengan ekspresi jengkel.

“Sudah-sudah! jangan bertengkar kerena masalah sepele, tapi Cahyati… jangan sampai mengulanginya lagi ya, nanti nenek hukum!”

“Iya Nek, maaf,” jawab Cahyati.

Nenek Marlinah kembali melanjutkan bacaannya, Banu dan Cahyati tampak tidak sabar untuk mendengarkan neneknya bercerita. Pada halaman pertama buku itu tertulis “Hutan dan Kehidupan.” Karya : M. Ihsanuddin Nursi.

Di tengah hutan lebat tempat berkumpulnya kawanan hewan yang hidup rukun, di hutan itu terdapat sebuah pohon yang sangat besar. Akan tetapi  hewan-hewan hutan tidak tahu kapan pohon sebesar itu tumbuh di hutan mereka, karena itulah mereka tidak berani mendekati pohon itu. Selain karena ukurannya yang besar, pohon itu terlihat sangat menyeramkan dan misterius. Hewan-hewan hutan menyebutnya “Pohon Misterius.”

Rasa khawatir akan keberadaan pohon misterius itu juga dirasakan oleh Singa si Raja Hutan, hingga akhirnya Singa si Raja Hutan melarang keras semua rakyatnya mendekati pohon itu, dan akan memberikan hukuman bagi siapapun yang melanggar perintahnya. Oleh sebab itu tidak ada penghuni hutan yang berani mendekati pohon misterius, bahkan seekor burungpun tidak berani terbang melintas di atasnya.

 (Mata Banu dan Cahyati, melotot dengan wajah tegang)

Hingga pada suatu malam, datanglah badai disertai hujan lebat dan gemuruh petir yang saling bersahut-sahutan hingga memorak-porandakan sebagian besar wilayah hutan. Hewan-hewan hutan pontang-panting berlarian berusaha menyelamatkan diri mereka karena sarang mereka telah rusak, dan tidak sedikit pula dari mereka yang mati akibat badai tersebut. Hewan-hewan hutan mulai resah karena tidak menemukan tempat yang aman untuk berlindung dari amukan badai tersebut.

Singa si Raja Hutan yang menyikapi keadaan tersebut, dengan gagah berani membulatkan keputusannya dan memerintahkan kepada semua hewan hutan yang selamat, untuk ikut mengungsi ke bawah pohon misterius yang masih kokoh berdiri sebagai tempat berlindung selama amukan badai berlangsung.

Karena sudah tidak ada pilihan lain, tanpa berpikir panjang hewan – hewan hutan mengikuti pemimpin mereka. Sebab mereka tau rasa takut dan kekhawatir dengan kehadiran pohon misterius itu jauh lebih baik dari pada mereka harus binasa oleh badai yang sedang menimpa tempat tinggal mereka.

(Nenek Marlinah berhenti sejenak, melirik wajah kedua cucunya yang sudah tenggelam ke dalam ceritanya. Dan kembali melanjutkan bacaanya.)

Keesokan harinya, langit kembali terang dengan cahaya pagi yang menyapa hangat, pertanda amukan badai telah reda, hewan-hewan hutan yang melihat tanah hijau yang dulunya asri kini telah porak-poranda oleh badai. Hewan-hewan hutan merasa sangat sedih mengenang semua kejadian tersebut.

“Dbuukk…,” (bunyi suara.) hewan-hewan hutan yang berlindung di bawah pohon misterius tiba-tiba dikejutkan oleh suara benda jatuh ditengah-tengah mereka, Singa si Raja Hutan secara spontan dengan tubuhnya yang gagah perkasa bersiap diri untuk menerkam dengan taring dan cakarnya yang tajam, untuk melindungi hewan-hewan hutan yang juga dikejutkan oleh suara itu. Namun beberapa saat kemudian suasana menjadi hening seketika, setelah semua hewan tahu bahwa suara itu berasal dari seorang kurcaci yang terjatuh dari pohon misterius, yang tak lain adalah tempat tinggalnya. Kurcaci yang hidupnya dikenal sangat tertutup dengan makhluk hidup yang lain tiba-tiba muncul di hadapan mereka dengan tersenyum malu kesakitan, sembari mengulurkan segenggam makanan kepada Singa si Raja Hutan yang masih terdiam takjub, karena baru pertama kali ini ia dan hewan-hewan hutan yang lain bisa bertemu langsung dengan salah satu ras yang dikira telah punah karena keberadaan mereka yang sudah lama tidak terdengar.

Singa si Raja Hutan tanpa sadar mendekati kurcaci itu secara perlahan mengikuti aroma sedap dari makanan yang diulurkan kepadanya. Setelah merasakan kelezatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dengan lahap Singa si Raja Hutan memakan habis semua makanan di tangan kurcaci tersebut,  

Melihat Singa si Raja Hutan tersenyum bahagia, kurcaci itu kemudian menggelitik tubuh Singa si Raja Hutan hingga membuatnya tertawa terbahak-bahak, hewan-hewan hutan yang menyaksikan kejadian langka itu, juga langsung ikut tertawa. Karena baru kali ini mereka melihat Singa si Raja Hutan yang biasanya terlihat bengis dan angkuh tiba-tiba tertawa dengan bengitu lucu, di sisi lain kawanan kurcaci yang mengintip dari atas Pohon Misterius mulai menunjukkan diri mereka satu persatu untuk menyapa dan menghibur hewan-hewan hutan yang berlindung di bawah rumah mereka dengan tawa khas mereka “Yahhohohohoho, Yahhohohohoho Yahhohohohoho.” Berkat kejadian yang tidak terduga itulah, kehidupan di hutan yang sempat terancam punah, kembali menemukan cahaya harapan melaui canda dan tawa dari balik musibah yang telah menimpa mereka. (Banu dan Cahyati turut tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar nenek Marlinah menirukan kawanan kurcaci tertawa.)

Beberapa bulan kemudian, di bawah hangatnya sinar matahari bunga-bunga yang sempat layu kini kembali bermekaran, pepohonan yang tumbang mulai menumbuhkan tunasnya, semua itu berkat semangat hewan-hewan hutan yang dibantu oleh kawanan kurcaci yang begitu cerdik dan tekun dalam setiap pekerjaannya. Berkat kerja sama itulah, mereka mampu mengembalikan kehidupan di hutan yang porak-poranda menjadi lebih indah dengan canda dan tawa sebagai sebuah keluarga.

Hingga tibalah di suatu malam, di saat semua penghuni hutan telah tertidur pulas, sekelebat asap menggumpal masuk ke hutan yang damai itu. Penghuni hutan mulai merasakan kesakitan akibat sesak nafas. disusul kobaran api yang membakar segala sesuatu yang dijumpainya, penghuni hutan pontang-panting berlarian mencari pertolongan, akan tetapi semua itu sia-sia, karena nyala api dengan cepatnya merebak ke berbagai penjuru hutan, kekacauan semakin parah terjadi setelah pohon misterius yang kokoh berdiri, tempat perlindungan terakhir yang tersisa, tiba-tiba roboh dan menimpa semua makhluk hidup yang berlindung di bawahnya.

Keesokan hari nya, dalam sekejap mata di hutan yang dulunya begitu indah dengan bunga dan pepohonan yang menjulang tempat hewan-hewan hutan dan kawanan kurcaci bernyanyi, bermain, dan hidup dengan penuh canda dan tawa, kini yang tersisa hanyalah batang pepohonan yang menjadi arang, dan aroma tak sedap dari berbagai bangkai hewan hutan yang telah hangus terbakar. Tidak ada kehidupan yang tersisa, ribuan nyawa telah menjadi bangkai, jutaan pepohonan dan tanaman menjadi abu.

Di tanah yang dulunya permai nan hijau, kini tampak begitu hitam pekat. Segerombolan manusia mulai berlalu-lalang, berbagai jenis alat berat telah didatangkan, mereka terlihat begitu kompak dengan rompi dan kendaraan mereka yang berwarna kuning, excavator, bulldozer, dan truk pengangkut tanah berhasil menyihir hutan yang telah hangus terbakar itu menjadi lahan tandus sebagai lahan baru bagi manusia dengan segala hasrat dan kepentingannya.

Waktu terus berlalu, sudah 10 tahun sejak nyala api melahap semua kehidupan di tanah yang kini telah dihiasi oleh gedung-gedung pencakar langit, canda dan tawa dari penghuni hutan dan kawanan kurcaci sudah tergantikan oleh suara sirene dan bunyi klakson mobil yang berlalu-lalang, Singa si Raja Hutan juga terlihat semakin gigih karena terbuat dari beton, aliran sungai yang jernih sebagai sumber kehidupan telah mejadi pekat kecoklatan oleh kotoran yang dikirim dari rumah-rumah manusia. Sejak malapetaka itu, yang tersisa hanyalah kenangan, abu dan hasrat manusia yang terus membuta.

Selesai

“Tamat,” kata nenek Marlinah sembari menutup bukunya.

Mendengar cerita yang dibacakan oleh nenek Marlinah, Banu dan Cahyati tampak bersedih.

“Loh… cucu nenek kenapa kelihatan bersedih?” tanya nenek Marlinah.

“Tidak apa, Nek. Kami bersedih karena tau, bahwa yang merusak hutan dan membunuh hewan-hewan itu adalah kita Nek, manusia!” jawab Cahyati dengan isak tangis, Banu mengangguk setuju.

            Mendengar jawaban cucunya, nenek Marlinah mendekap Banu dan Cahyati dengan hangat.

“Sayang… Kalian tidak boleh berpikiran seperti itu, cerita tadi bertujuan sebagai pengingat dan pembelajaran bahwa kita tidak boleh menjadi manusia yang tamak dan berbuat seenaknya, hingga merugikan makhluk hidup yang lainnya,” kata nenek Marlinah.

            Mendengar penjelasan neneknya, Banu dan Cahyati kembali tersenyum hangat.

“Makasih ya Nek, untuk ceritanya. Cahyati sayang… Nenek.”

“Banu juga, sayang… Nenek,” kata mereka dalam dekapan nenek Marlinah.

“Yaudah sekarang sudah malam, kalian tidur dulu yaa… biar cepat besar dan menjadi manusia yang peduli untuk yang lainnya.” Pinta nenek Marlinah, sembari mencium kening kedua cucunya yang begitu dia sayangi.

“Iya…Nek,” jawab Banu dan Cahyati dengan penuh harap.

            Di bawah indahnya sinar rembulan, harapan dan mimpi-mimpi kembali tercipta, dengan adanya cinta dan kasih sayang pada orang-orang yang terus berjalan pada kehidupan. Semoga dengan adanya harapan yang indah itu, dapat menghilangkan semua kesedihan dan menghidupkan kembali keanekaragaman yang ada di muka bumi ini. Aamiin.

 

“Tamat”

 


Postingan Terkini

Implementasi Segitiga Restitusi di Sekolah

Oleh:

Muhammad Sholeh Hoddin

SMA Nazhatut Thullab

___________________

 

 

Implementasi Segitiga Restitusi di Sekolah

 

Pengantar

 

Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah . . . BACA SELANJUTNYA

Hutan dan Kehidupan

Oleh: 

M. Ihsanuddin Nursi

Alumni PP. Nazhatut Thullab

IG        : @lenterabiru79

BACA SELANJUTNYA

Problem Organisasi dan Pengungkapan Keributan

Oleh :

Abdullah

 

Kapan kira-kira terakhir kali Anda bangun di pagi hari? Atau Anda memang tidak pernah . . . BACA SELANJUTNYA

Kalah Bukan Alasan untuk Saling

Oleh: Abdullah

 

Tentu Anda tidak bosan-bosannya selalu diingatkan tentang bagaimana . . . BACA SELANJUTNYA

Pemilukada Oleh DPRD, Benarkah Amanah

Oleh:

Lukman Hakim

Alumni PP. Nazhatut Thullab

Ketua Ikatan Mahasiswa . . . BACA SELANJUTNYA

Langit Biru (Sebuah Cerpen)

Oleh: 

M. Ihsanuddin Nursi

Alumni PP. Nazhatut Thullab

Mahasiwa D4 Teknik . . . BACA SELANJUTNYA

Urgensi Media Sosial dalam Peyebaran

Oleh : Khoirun Nisa'

(Alumni pp. Nazhatut Thullab Sekaligus Mahasiswa Aktif di . . . BACA SELANJUTNYA

Peran Pondok Pesantren Dalam Menjaga

Oleh: Zam FaQoth

Salah Satu Kebuleh (Khadim) di PP. Nazhatut Thullab

BACA SELANJUTNYA

Analisis Kebijakan Publik Mengenai Perppu

Oleh : Nur Jamal

 

Pendahuluan

Pemerintah resmi menerbitkan . . . BACA SELANJUTNYA

Hegemoni Kiai dan Blater Dalam

Oleh : Nur Jamal

 

Teori  Hegemoni 

Secara subtansial . . . BACA SELANJUTNYA