Oleh:
Lukman Hakim
Alumni PP. Nazhatut Thullab
Ketua Ikatan Mahasiswa Alumni Nazhatut Thullab 2017-2018
Beberapa hari ini santer wira-wiri di media tentang rencana Mendagri Tito Karnavian untuk mengevaluasi tentang rencana dikembalinya pemilihan kepala daerah pada DPRD, hal ini merujuk pada falsafa bangsa Indonesia, Pancasila sila ke-IV “permusyawaratan/ perwakilan”. Tentunya persoalan ini harus menjadi perhatian kita, karena ini merupakan suatu klaim serius terhadap dasar negara, yang tentunya tidak bisa dilakukan secara sembrono. Mari kita sedikit menelusuri sejarah tentang makna dari kata “permusyawaratan/perwakilan”, dalam risalah sidang BPUPKI. Supomo, menjelaskan bahwa “permusyawaratan” dan “perwakilan” adalah sebuah konsep yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Pertama, pemusyawaratan adalah pembahasan bersama oleh semua pihak. Itulah mengapa dalam UUD 1945 sebelum amandemen mengenal fraksi utusan golongan dan utusan daerah. Kedua, forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan, dimana DPR hanya mengakomodasi hasil pemilu, sedangkan MPR mengakomodasi semua golongan masyarakat. DPR merupakan mitra kerja presiden, yang adalah, “mandataris MPR”. MPR merupakan lembaga tertinggi negara dan memegang kedaulatan rakyat, sehingga mutlak dan diwajibkan untuk selalu “hikmat kebijaksanaan” dalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentunya agak rumit jika tugas “hikmat kebijaksanaan” secara konseptual dilakukan oleh DPR, mengingat komposisi dan sifat kerjanya.
Pasca reformasi 1998 terjadi perubahan mendasar terhadap sistem perundang-undangan di Indonesia. UUD 1945 ahirnya diamandemen. Kedaulatan tertinggi dikembalikan ke tanggan rakyat dimana MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Sebelum perubahan, MPR sebagai lembaga tertinggi, yang beranggotakan anggota DPR, utusan daerah dan golongan bermusyawarah untuk menentukan masa depan bangsa, salah satunya adalah memilih presiden dan menetapkan GBHN. Karena MPR dianggap sebagai representasi rakyat Indonesia.
Pertanyaannya sekarang, apakah MPR yang ada saat ini, yang beranggotakan anggota DPR dan DPD hasil pemilu, setara dengan MPR sebelum amandemen, dimana MPR saat ini tidak lagi memegang kedaulatan rakyat, dan mungkinkah permusyawaratan bisa melebur dalam perwakilan di DPR?. Pasca amandemen UUD 1945 kedaulatan sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Dan ini jelas-jelas telah menggeser sebagian penting dari konsep sejati “permusyawaratan/perwakilan”, jauh keluar pintu lembaga tertinggi negara. Jadi pointnya, “permusyawaratan” tidak selalu identik dengan “perwakilan”.
Meskipun telah terjadi amandemen UUD 1945, filosofi tidak berubah, pancasila tetap menjadi dasar negara, dasar dari UUD 1945. Wacana tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bisa kita terima secara logika jika belum terjadi amandemen pada UUD 1945, dimana MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara yang menjadi forum pemusyawaratan seluruh bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil musyawarah (Garis-Garis Besar Haluan Negara), MPR mengangkat presiden sebagai mandataris. Semua kepala daerah menjadi perpanjangan tangan presiden, dikarenakan mereka adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Jika misalnya aspirasi rakyat tidak tertampung, masih ada MPR yang menjadi forum solusi bersama. Namun argumentasi pengembalian pemilihan kepala daerah kepada DPRD berdasarkan sila ke-IV menjadi rancu saat kedaulatan dikembalikan ketangan rakyat. MPR tidak lagi bermusyawarah menghasilkan GBHN, Presiden menjadi mandataris rakyat yang dipilih langsung dan secara terpisah dari kepala daerah, MPR, DPR dan DPRD. Tidak ada bedanya, semuanya dipilih dengan suara mayoritas. Pemilihan dengan suara mayoritas tentusaja tidak bisa mewakili semua elemen masyarakat. Sedikit mengingat, bahwa anggota MPR sebelum amandemen sudah ditentukan bagian-bagiannya, sehingga semua element masyarakat terwakili, anggota MPR tidak dipilih dari hasil pemilu.
DPRD provinsi terdiri dari kader partai yang terpilih dalam pemilu. Olehkarenanya mereka adalah partisan. Mereka hanya mewakili kelompok masing-masing. Musyawarah seperti apa yang bisa mereka hasilkan. Lebih mengerucut, demokrasi yang dimaksud dalam sila ke IV bukanlah “demokrasi perwakilan”, perwakilan yang tidak merata dan tidak menyeluruh tidak akan pernah menghasilkan sebuah permusyawaratan. Tanpa permusayawaratan tidak akan pernah ada hikmat kebijaksanaan. Selanjutnya, bagaimana rakyat yang tidak terwakili dalam DPRD provinsi menyalurkan kedaulatannya? Jawabannya adalah dengan memilih sendiri kepala daerahnya.
Jika pemerintah tetap memaksakan diri mengembalikan pemilukada pada DPRD, maka cara yang lebih masuk akal adalah mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara persis seperti sebelum amandemen UUD 1945. Tidak mungkin terjadi dengan cara lain, atau kalau tidak product hukum negara ini akan dianggap ambigu dan tidak matang.
Oleh:
Muhammad Sholeh Hoddin
SMA Nazhatut Thullab
___________________
Implementasi Segitiga Restitusi di Sekolah
Pengantar
Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah . . . BACA SELANJUTNYA
Oleh :
Abdullah
Kapan kira-kira terakhir kali Anda bangun di pagi hari? Atau Anda memang tidak pernah . . . BACA SELANJUTNYA
Oleh: Abdullah
Tentu Anda tidak bosan-bosannya selalu diingatkan tentang bagaimana . . . BACA SELANJUTNYA
Oleh:
Lukman Hakim
Alumni PP. Nazhatut Thullab
Ketua Ikatan Mahasiswa . . . BACA SELANJUTNYA
Oleh:
M. Ihsanuddin Nursi
Alumni PP. Nazhatut Thullab
Mahasiwa D4 Teknik . . . BACA SELANJUTNYA
Oleh : Khoirun Nisa'
(Alumni pp. Nazhatut Thullab Sekaligus Mahasiswa Aktif di . . . BACA SELANJUTNYA
Oleh : Nur Jamal
Pendahuluan
Pemerintah resmi menerbitkan . . . BACA SELANJUTNYA
Oleh : Nur Jamal
Teori Hegemoni
Secara subtansial . . . BACA SELANJUTNYA